foto

SEJARAH PERKEMBANGAN ASPAL


Perkembangan Aspal Zaman Kekhalifahan
Ibarat langit dan bumi. Begitulah para sejarawan kerap menggambarkan perbedaan antara kota-kota di dunia Islam dengan Eropa di era kekhalifahan. London dan Pariskini metropolis duniapa da masa kejayaan Islam hanyalah kota kumuh dengan jalanan becek yang pe nuh lumpur ketika hujan. Kondisi itu sungguh berbeda dengan Baghdad dan Cor dobadua metropolitan dunia yang berkembang sangat pesat di zaman kejayaan Islam.
Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang termasyhur, History of Arab, melukiskan jalan-jalan di kedua metropolis Islam itu begitu licin berlapiskan aspal. Seni membuat jalan sungguh telah berkembang pesat di tanah-tanah Islam, ungkap Hitti. Menurutnya, bermil-mil jalan di Kota Cordoba pusat kekhalifahan Islam di Spanyolbegitu mulus dilapisi dengan aspal.
Tak cuma itu, pada malam hari, jalanjalan di Cordoba pun telah diterangi dengan lampu. Di malam hari, orangorang bisa berjalan dengan aman, imbuh Hitti. Sedangkan di London dan Pa ris, orang yang berjalan di waktu hujan pasti akan terperosok dalam lumpur,’‘ cetusnya. Orientalis dan arkeolog terkemuka Barat, Stanley Lane- Poole, juga sangat mengagumi kehebatan pembangunan jalan di Cordoba.
Anda dapat menelusuri jalan-jalan di Cordoba pada malam hari dan selalu ada lampu yang akan memandu perjalanan Anda, papar Lane-Poole. Sebuah inovasi dan pencapaian begitu tinggi yang belum terpikirkan peradaban Barat ketika itu. Masyarakat Barat baru mengenal pembangunan jalan berlapis aspal sekitar tujuh abad setelah peradab an Islam di Spanyol menerapkannya.
Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi, jalanyang dilakukan di zaman kekhalifahan Islam. Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M, cetus Ajram. Yang paling mengagumkan, pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M.
Menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Insinyur pertama Barat pertama yang membangun jalan adalah Jhon Metcalfe. Pada 1717, dia membangun jalan di Yorkshire, Inggris, sepanjang 180 mil. Ia membangun jalan dengan dilapisi batu dan belum menggunakan aspal.
Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Sejarah Barat mencatat, pada tahun itu aspal mulai melapisi jalan Champs-Elysees di Paris, Prancis. Sedangkan, jalan beraspal modern di Amerika baru dibangun pada 1872. Adalah Edward deSmedt, imigran asal Belgia, lulusan Columbia University di New York yang membangun jalan beraspal pertama di Battery Park dan Fifth Avenue, New York City, serta Pennsylvania Avenue.
Ajram mengungkapkan pesatnya pembangunan jalan-jalan beraspal di era kejayaan tak lepas dari penguasaan peradaban Islam terhadap aspal. Sejak abad ke-8 M, peradaban Muslim telah mampu mengolah dan mengelola aspal.Aspal merupakan turunan dari minyak yang dihasilkan melalui proses kimia bernama distilasi destruktif, ujar Ajram.
Zayn Bilkadi, seoarang ahli kimia dalam tulisannya, Bitumen A History, memaparkan, pertama kali aspal dikenal oleh bangsa Sumeria. Peradaban ini menyebutnya sebagai esir. Orang Akkadia mengenal aspal dengan nama iddu. Sedangkan, orang Arab menyebutnya sayali, zift, atau qar. Sedangkan, masyarakat Barat mengenalnya dengan nama ‘bitumen’ atau ‘asphalt’.
Inilah produk minyak pertama yang pernah digunakan manusia, papar Bilkadi. Aspal, kata dia, sempat dikuasai oleh orang-orang Mesopotamia. Sejak dulu, aspal menjadi primadona. As -pal pernah digunakan peradaban Babilonia untuk membuat gunung buatan yng dikenal sebagai Menara Babel.
Masyarakat Mesir Kuno menggunakan aspal untuk merawat mumi. Peradaban Is lam yang mewarisi teknologi pengolahan aspal, sempat menggunakannya untuk menyembuhkan penyakit kulit dan lu ka-luka. Hingga akhirnya, peradaban Is lam mengenalkan aspal untuk melapisi jalan.
Orang Babilonia sudah mulai menguasai pengolahan aspal secara kuno. Namun, secara modern pengolahan aspal pertama kali ditemukan para ilmuwan Islam. Beberapa ilmuwan yang mengembangkan teknologi pengolahan aspal ada lah ‘Ali ibnu al-‘Abbas al-Majusi pada 950 M. Ia sudah mampu mengha silkan minyak dari endapan aspal yang hitam.
Caranya, papar Al-Majusi, endapan aspal itu dipanaskan sampai mendidih di atas ketel. Lalu, untuk mendapatkan cairan minyak, ia memeras endapan aspal itu sampai mengeluarkan minyak. Selain itu, saintis dari Mesir Muslim lainnya, Al-Mas’udi, juga mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak.
Al-Mas’udi menguasai teknologi pengolahan aspal menjadi minyak melalui proses yang mirip dengan teknik pemecahan modern (cracking techniques). Dia menggunakan dua kendi berlapis yang dipisahkan oleh kasa atau ayakan. Kendi bagian atas diisi dengan aspal lalu dipanaskan dengan api. Hasilnya, cairan minyak menetes ke kasa dan ditampung di dasar kendi.
Metode pengolahan minyak dari aspal lainnya yang ditemukan insinyur Mus lim adalah teknik distilasi yang disebut taqrir. Teknik ini kembangkan oleh sajana Muslim bernama Al-Razi. Berbekal
pengetahuan itulah, pada abad ke-12 per adaban Islam sudah menguasai pro ses pembuatan minyak tanah atau naphtha.
Menurut Bilkadi, mulai abad ke-12 minyak tanah sudah dijual secara besarbesaran. Di jalan-jalan di sekitar Damas kus, papar dia, banyak orang yang menjual minyak tanah. Di Mesir pun, minyak tanah pada abad itu telah digunakan secara besar-besaran. Dalam salah satu naskah disebutkan, dalam sehari rumah-rumah di Mesir mengha biskan 100 ton minyak untuk bahan bakar penerangan.
Penggunaan aspal menjadi pelapis jalan pun terus dikembangkan para saintis Muslim. Untuk melapisi jalan, para insinyur Muslim di Nebukadnezar menggunakan campuran aspal dengan pasir. Campuran pasir dan aspal untuk melapisi jalan itu di Irak dikenal dengan nama ghir.
Kosmografer Muslim, Al-Qazwini, dalam bukunya Aja’ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua macam campuran aspal dan pasir yang digunakan untuk melapisi jalan. Jika digunakan untuk mengaspal jalan, campuran itu dikenal sangat kuat dan lekat. Inilah salah satu bukti lagi bahwa peradaban Islam adalah perintis dalam berbagai penemuan dan teknologi. Sebuah kebanggaan yang seharusnya bisa menumbuhkan kembali semangat untuk bangkit mencapai kejayaan. heri ruslan (Republika; Kamis, 27 November 2008 pukul 15:35:00)
 Sejarah Perkembangan Aspal zaman moden
Perkembangan jalan di Indonesia sebelum masa kolonialisasi Belanda tidak banyak ditemukan catatannya. Barangkali, Jalan Daendels, merupakan proyek jalan pertama di Indonesia yang cukup banyak informasinya. Namun demikian, juga banyak informasi dan hal yang perlu ditelaah lebih lanjut karena hanya berdasar dari dokumen-dokumen yang tersimpan di Belanda.
Herman Willem Daendels lahir di Hattem, Belanda pada tanggal 21 Oktober 1762. Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut kumpulan para pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis, lalu bergabung dengan pasukan Batavia yang republikan. Pada tahun 1795 ia mencapai pangkat Jenderal. Seiring dengan ditaklukannya Belanda oleh Perancis pada akhir 1795, ia kembali ke Belanda. Sebagai kepala kaum unitaris ia bertugas untuk mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Invasi Persekutuan Eropa yang dipimpin Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan untuk menjadi petani dan peternak.
Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk; Louis Bonaparte; sepupu Napoleon Bonaparte) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia-Belanda sebagai Gubernur-Jendral,menggantikanGubernur-JendralAlbertusWiese.

Daendels ditugasi untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius pada tahun 1807. Beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa bahkan di dekat Batavia (Jakarta). Pada tahun 1800 armada Inggris telah memblokade Batavia. Pada tahun 1806 armada kecil Inggris di bawah Laksamana Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan militer Belanda Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan dikabulkan. Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris.Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi, ia membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu pembangunan jalan, sebenarnya dibangun juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat dari Batavia menuju Surabaya.
Berbeda dengan apa yang diyakini orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan dari Anyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba. Pada ruas ini ia hanya memerintahkan untuk memperbaiki perkerasannya dan melebarkannya sehingga waktu tempuh berkurang dari 4 hari menjadi 1 hari. Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg (Bogor) menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke Sumedang. Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas batuan padas. Akibatnya pembangunan jalan macet. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung (Kandanghaur !?, penyusun). Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras sertajatahgaramsetiapminggu.

Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan dengan alasan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Para bupati diperintahkan untuk menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon. Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di JawaTimur dan saat itu.

Proyek pembangunan jalan Daendels ini dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa kala itu, bahkan juga untuk ukuran sekarang, yakni 18 – 20 km/jam di tempat-tempat yang datar. Sepanjang jalan, setiap jarak 150,960 meter harus didirikian sebuah tonggak/paal untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi setiap distrik (kewedanaaan) untuk memeliharanya.

Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu membuat beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering) dipecat. Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan Daendels. Di antara tulisan mereka disebutkan terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kekeliruan dengan menerima kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.

Kontroversi lain yang menyangkut laporan pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek pembuatan jalan itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi. Begitu juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos. Karena itu jalan ini oleh Daendels disebut dan diperkenalkan sebagai De Groote Postweg, Jalan Raya Pos, lebih untuk menutupi fungsi strategis militernya.

Sayangnya tidak ditemukan catatan tentang konstruksi apa yang digunakan pada De Groote Postwage ini. Sebagian besar sejarawan hanya menyatakan berdasar laporan-laporan yang ada, bahwa ribuan orang dikerahkan untuk memecah batuan guna pembuatan jalan tersebut. Jika menilik dari kurun waktu pembuatannya, bisa jadi jalan ini dibangun bersamaan dengan yang dikerjakan oleh John Metcalf, Thomas Telford, dan John Loudon McAdam, atau paling tidak tidak terlalu jauh beda waktunya. Juga belum ditemukan catatan, apakah jalan tersebut sudah menggunakan ter sebagai bahan perekat.

Kesalahan jamak yang banyak terjadi saat ini adalah menganggap bahwa jalur pantura Jawa merupakan jalur jalan Daendels. Pada kenyataan sejarahnya jalur De Groote Postwage adalah Anyer (Banten) – Jakarta – Bogor, Puncak – Cianjur – Cimahi – Bandung – Sumedang – Kandanghaur – Cirebon, dan seterusnya sampai Panarukan di Banyuwangi, ujing timur Jawa Timur. Sementara itu jalur pantura Jawa mengikuti ruas Anyer (Banten) – Jakarta – Bekasi – Karawang – Cikampek – Pamanukan – Cirebon, dan seterusnya sampai Banyuwangi. Jalur Jakarta sampai Cirebon sesuai jalur pantura Jawa ini bisa jadi lebih berkaitan dengan jalur penyerangan Sultan Agung (Kerajaan Mataram) ke VOC di Batavia.

Saat ini, baik jalur pantura maupun de groote postwage memiliki peran yang teramat penting bagi perekonomian Indonesia. Setiap hari puluhan ribu kendaraan (baik sebagai angkutan barang maupun penumpang) melewati jalur ini. Perhatian khusus perlu diberikan pada angkutan barang di jalur ini karena ditengarai membawa beban yang jauh melebihi daya dukung yang direncanakan. Jalan-jalan nasional di Indonesia hanya direncanakan untuk dilewati oleh kendaraan dengan MST (muatan sumbu terberat) sebesar 10T, sedang jalan propinsi hanya MST 8T. Kondisi ini menyebabkan jalan menjadi lebih cepat rusak dari waktu yang direncanakan sehingga perlu diupayakan metode penanggulangannya. Dari sisi aspal kemudian lahirlah kebutuhan untuk meningkatkan properties material melalui penggunaan aspal modifikasi sejak tahun 2002-2003.

Sejarah Pemakaian Aspal Buton
Pada sekitar tahun 1920an, Hetzel (seorang geolog Belanda) menemukan singkapan-singkapan deposit aspal alam di Pulau Buton. Pada tahun 1936 Hetzel telah berhasil memetakan lebih dari 20 lokasi singkapan deposit (data ini masih terus dipakai sampai sekarang, karena belum ada lagi data yang lebih baru).

Pengusahaan pertambangan aspal Buton dilakukan oleh perusahaan Belanda yang bernama N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton.

Deposit aspal alam di Pulau Buton termasuk tipe rock asphalt yang berasosiasi dengan material setempat seperti kapur, tanah, humus, lempung, dan sebagainya. Kadar aspal yang terkandung dalam asbuton ini sangat bervariasi, dengan yang tertingginya terdapat di Kaboengka sumur A dan E serta di Lawele.

Penambangan dilakukan dengan cara manual dan hanya memilih deposit dengan kadar tinggi, karena yang memang langsung dipakai. Salah satu metode pemanfaatannya dikenal dengan nama Boetonald, yakni aspal alam Buton kadar tinggi yang diencerkan dengan aspal dari kilang. Penggunaan aspal Buton ini banyak dilakukan di Batavia, Jawa bagian Timur, dan Netherland. Namun sampai sekarang Penulis belum menemukan catatan tepatnya di ruas jalan mana aspal Buton ini digunakan. Tentu saja dapat disimpulkan pembuatan jalan dengan hotmix di Indonesia (Batavia atau Jawa Timur) sudah dilakukan jauh sebelum negeri ini diproklamasikan tahun 1945.

Selama masa pendudukan Jepang terhadap Indonesia tidak tercatat adanya kegiatan penambangan batuan aspal Buton. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan asbuton dimasukkan dalam Bagian BUTAS (BUTON ASPHALT) dari Jawatan Jalan-jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga yang dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga tertanggal 31 DESEMBER 1954 NOMOR P 25/ 56/13 DAN 19 DESEMBER 1955 NOMOR P 25/51/117]. Bagian BUTAS ini merupakan hasil nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton yang mengelola asbuton selama masa penjajahan Belanda

Selanjutnya Bagian BUTAS ini dipisahkan dan berdiri menjadi PAN (Perusahaan Aspal Negara) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 195 yang disyahkan pada tanggal 12 Mei 1961. Tanggal ini kemudian diusulkan sebagai hari aspal nasional, namun tidak mendapat banyak respon seiring dengan memudarnya pamor aspal Buton.

Hasil produksi penambangan yang tercatat selama masa PAN ini sebesar 31.215 ton pada tahun 1969 dan meningkat hingga 115.000 ton pada tahun 1973. Pemerintah Orde Baru (Presiden Soeharto) saat itu berencana untuk terus meningkatkan produksi tambang asbuton seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan aspal bagi pengembangan infrastruktur jalan. Bagian BUTAS dan PAN banyak meneruskan studi eksplorasi tambang asbuton dan menuangkannya dalam peta-peta lokasi deposit serta rencana kegiatan penambangannya.

Seiring dengan berbagai penataan perusahaan-perusahaan milik negara, pada tanggal 30 Januari 1984 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengalih­an Bentuk Perusahaan Aspal Negara menjadi Perusahaan Per­seroan (PERSERO). Perusahaan Perseroan tersebut kini dikenal sebagai PT Sarana Karya (Persero). Pada masa ini didapati perubahan orientasi cara pemanfaatan / penambangan asbuton dari generasi sebelumnya. Perubahan ini, bisa jadi, dilatarbelakangi oleh menipisnya jumlah deposit dengan kandungan aspal yang tinggi. Model penambangan baru yang diaplikasikan oleh PT Sarana Karya (Persero) dengan cara blasting diduga makin memperkuat dugaan bahwa deposit dengan kadar aspal tinggi sudah menipis / habis. [deposit dengan kadar tinggi tidak dapat diledakkan].

Kadar aspal yang rendah menjadikan upaya pemanfaatan deposit aspal Buton tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang standar. Berbagai metode pemanfaatan, seperi Latasir, Latasbum, asbuton curah, asbuton micro, BMA (Buton mastic asphalt), banyak menemui kendala di lapangan dan akhirnya mengalami kegagalan konstruksi. Hal ini menjadikan penggunaan aspal Buton mulai ditinggalkan. Kontraktor lebih menyukai menggunakan aspal kilang, karena metode produksi hotmixnya lebih mudah dan standar.

Mulai tahun 2004, seiring dengan kenaikan harga minyak bumi yang luar biasa (bahkan saat tulisan ini disusun, 19 April 2008, telah mencapai kisaran USD 110 per barrel, rekor sebelumnya hanya USD 40 pada tahun 1980) menjadikan harga aspal kilang juga naik sangat tajam. Tahun 2005, bahkan harga aspal kilang naik 100% dalam waktu kurang dari setahun. Hal ini menjadikan upaya untuk memanfaatkan aspal alam Buton dilirik kembali. Namun karena belum tersedianya teknologi pengolahan dan pemanfaatan yang handal, program penggunaan aspal Buton tahun 2007 (yang didukung oleh Peraturan Menteri PU) untuk proyek-proyek jalan nasional di 14 propinsi mengalami kegagalan.


Template by : Kendhin x-template.blogspot.com