Buton, Pulau Aspal dengan
Kerajaan yang Agung Nama Pulau Buton sempat mengisi media massa, kalau
dulu karena produksi aspalnya kini karena ratusan gempa yang terus
menerus mengguncang Buton.
Setelah musim gempa usai, mengunjungi
Buton tentu bisa menjadi pilihan karena pulau ini memiliki sejarah
budaya dan keindahan alam tersendiri dan layak untuk dikunjungi. Penulis
cukup beruntung bisa menginjakkan kaki di Pulau Buton saat mengikuti
Tim Ekspedisi Wallacea dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP)
Departemen Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu, yang bertolak
menggunakan kapal Phinisi Cinta Laut dari Pelabuhan Bau-bau menuju ke
Pulau Kabaena. Pulau Buton dengan ibu kota Bau-bau dalam sejarahnya,
merupakan kota kerajaan Sultan Wolio yang memerintah di kawasan Buton
dan pulau-pulau sekitarnya seperti Muna, Kabaena, Wowini dan Pulau
Tukang Besi.
Dalam masa pemerintahannya, para raja Buton biasa
melakukan kerja sama kenegaraan dengan Kerajaan Cina dan Kerajaan
Majapahit di Pulau Jawa. Kepala Seksi Sarana dan Jasa Dinas Pariwisata
Kota Bau-bau, Ali Arham, mengungkapkan, penduduk Buton berasal dari
Semenanjung Tanah Melayu di Johor yang datang menggunakan perahu ke
Pulau tersebut pada abad ke-13. Ali mengungkapkan, keyakinan bahwa
leluhur Buton datang dari Johor adalah karena di Johor juga terdapat
kampung bernama Woloan. Saat itu, ada empat kelompok yang mendarat di
Buton. Dua kelompok mendarat di Buton barat dan dua rombongan mendarat
di utara. Kelompok pertama langsung mendirikan kampung Wolio, yang
mengambil nama dari Kampung Woloan, katanya. Empat rombongan tersebut
kemudian beranak pinak dan membuat kampung-kampung baru, seperti Kampung
Gundu, Kampung Balu, Kampung Peropa dan Kampung Barangkatopa. "Seluruh
kampung itu masih ada dan namanya tetap sama hingga sekarang," ujar Ali.
Setelah menjadi kampung yang cukup besar, warga Buton kemudian
mengangkat Ratu Pertama, bernama Wakaka. Bambu Kuning Pemerintahan
pertama tersebut dipilih berdasarkan musyawarah mufakat antara 4 tokoh
adat. Wakaka yang merupakan seorang perempuan dipilih karena dianggap
memiliki kepribadian dan sifat pemimpin yang layak, katanya. Nama Wakaka
menurut Ali, berarti keluar dari Bambu Kuning. Dalam sejarah hikayat
Buton, dikatakan ratu memang lahir dari pohon bambu kuning, tapi ada
juga ahli sejarah yang mengatakan nama itu disandang karena saat
dilantik menjadi ratu, ia diusung di atas tandu kebesaran yang dibuat
dari bambu kuning yang memang banyak tumbuh di sini, katanya.
Situs
Pelantikan Wakaka sebagai Ratu Buton yang dilantik pada abad 13
tersebut hingga kini masih ada, yaitu berupa sebuah lubang yang saat
diambil sumpah, kaki Ratu dimasukkan ke lubang sambil dipayungi. Prosesi
pelantikannya sangat unik. Warga Buton saat itu masih memeluk agama
Hindu, sehingga lubang tersebut adalah perlambang dari Yoni, sebuah
simbol suci agama Hindu. Saat memasukkan kakinya ke lubang, calon Ratu
harus mengambil sumpah yang menyatakan ia akan memerintah negeri dengan
baik dan tidak akan menjual tanah airnya untuk kepentingan sendiri.
Sementara mengambil sumpah, petugas yang memegang payung akan memutarkan
payung di atas kepala calon ratu, katanya.
Setelah diambil
sumpah, Raja kemudian dimandikan dengan air suci di dekat situs
pelantikan yang hingga kini masih mengalir airnya. Menurut Ali, di dekat
mata air, sebenarnya ada lingga yang merupakan simbol suci Hindu yang
melambangkan laki-laki serta patung berbentuk manusia. Karena takut
dipergunakan untuk hal-hal yang tidak jelas, maka patung manusia
diangkat dari sana, katanya tanpa menjelaskan ke mana patung tersebut
dipindahkan. Meski berbentuk kerajaan, sejak lama Kerajaan Buton sudah
menganut sistem demokrasi parlemen dan memiliki konstitusi yang harus
dipatuhi oleh seluruh warga, termasuk ratu atau raja Buton. Saking
taatnya mereka pada undang-undang, sehingga ketika parlemen menemukan
fakta bahwa raja melakukan kesalahan, maka raja pun bisa dijatuhi
hukuman mati. Ini terjadi pada Sultan Mardan Ali yang memerintah pada
abad ke-17. Ia dihukum mati karena melanggar sumpah yang berbunyi tidak
akan mengganggu isteri orang lain, katanya.
Hukuman mati untuk
Raja Ali sangat mengerikan karena saat itu cara menghukum mati adalah
terhukum dipendam di dalam tanah hingga batas kepala, kemudian 40 orang
berbaris satu-satu sambil melemparkan batu pada terhukum. Bila terhukum
kuat menanggung deraan 40 buah batu yang dilemparkan, ia dianggap telah
menanggung hukuman dan bebas untuk pergi, namun jika tidak maka ia tewas
dan tinggal menunggu malaikat pencabut nyawa menjemputnya, ujar Ali.
Selain hukuman adat tentang tata susila, kerajaan Buton juga memiliki
Hukum Kedaulatan Rampe yang dibuat oleh Kerajaan Buton, dimana barang
yang terdampar di Perairan dan Pantai Buton merupakan milik Kerajaan
Buton. Empat Aturan Dalam hidup bernegara dan berbangsa mereka memegang
teguh empat aturan, yaitu Inda inda mo arata somanamo karo artinya,
korbankan harta demi keselamatan diri. Kemudian inda inda mo karo somana
mo lipu, artinya korbankan diri demi keselamatan negeri, kemudian inda
inda mo lupu somanamu syara, artinya korbankan negeri yang penting
pemerintahan. (Dalam hal ini, Ali mencontohkan pengobanan Soekarno yang
menyingkir ke Yogyakarta dan Bukit Tinggi demi menyelamatkan
pemerintahan negara). Terakhir adalah inda inda mo syara somanamu agama
artinya biarlah pemerintahan hancur yang penting agama. Falsafah
perjuangan kerajaan Buton ini tidak menentukan agama apa yang harus
dibela, karena agama apapun sama saja, jika itu sudah menjadi pilihan
orang atau negara yang bersangkutan, katanya. Selain falsafah negara,
mereka punya falsafah hidup, yakni Po Mae Maeka, artinya sesama manusia
harus tenggang rasa. Po ma ma siaka, artinya tiap manusia harus saling
menyayangi, po angka angka taka artinya tiap manusia harus saling
menghargai dan po pia piara artinya tiap manusia harus saling
memelihara. Karena falsafah ini maka pasangan suami istri di Buton
sangat awet dan takut sekali bercerai, ujarnya.
Dalam masa
pemerintahannya, Kerajaan Buton sempat mengalami transisi yaitu karena
masuknya pengaruh ajaran Islam. Raja kemudian menobatkan dirinya sebagai
sultan dan di tempat pentasbisan raja yang berupa Yoni, kemudian
dibangun sebuah masjid yang merupakan masjid pertama yang ada di Pulau
Buton. Masjid ini dibangun pada tahun 1712 pada masa pemerintahan Sultan
Ke-19. Bangunannya berbentuk bangunan Indonesia Asli dan ada mitos
bahwa di Masjid ini ada lubang pusat bumi yang bisa membuat orang
menghilang, katanya. Lubang itu, menurut Ali hanya mitos belaka, sebab
sesungguhnya lubang yang dipercaya sebagai pusat bumi adalah sebuah
terowongan yang vertikal dan memiliki jalan tembus di kawasan pantai
Buton. Sekarang gua tersebut sudah tidak dibuka lagi karena khawatir
sudah rapuh. Sebenarnya gua berukuran 2 x 2 m ini adalah sebuah
terowongan yang memiliki jalan tembus.
Saat masa penjajahan
Belanda, jika ada penyerangan ke kota, warga menyelamatkan diri ke dalam
masjid dan lari keluar melalui lorong rahasia tersebut. Karena banyak
yang tidak tahu maka keluarlah mitos bahwa masjid merupakan titik pusat
bumi yang bisa membuat orang hilang atau menghilang, katanya tertawa.
Rumah Adat Keluarga kerajaan Buton, menurut Ali tinggal di dalam istana
atau rumah adat yang disebut Malige yang sekarang menjadi musium dan
pusat kebudayaan Wolio. Rumah adat Wolio dibangun ibarat tubuh manusia
yang memiliki kepala, badan dan kaki. Orang Buton memiliki tradisi
memberi lubang rahasia pada kayu terbaiknya untuk diberi emas dan
menyimbolkan lubang rahasia tersebut sebagai pusar yang merupakan titik
central tubuh manusia, katanya. Emas tersebut menurutnya, sebagai
perlambang bahwa rumah memiliki hati. Bagi adat Wolio, hati adalah
laksana intan pada manusia.
Di Bau-bau, benteng keraton yang
terletak sekitar 3 km dari pusat kota terlihat mencolok dan menarik
mata. Menurut Ali benteng ini dibangun pada masa 4 kesultanan. Pembangun
benteng pertama adalah sultan ke 3 yaitu Sultan Mangkekuna yang
membangun kubu pertahanan (bastion) di empat sudut keraton. Kemudian
dilanjutkan oleh sultan ke 4, yaitu Sultan Laelangi yang menghubungkan
antar bastion. Sultan ke-5, yaitu Sultan Abdul Wahab melanjutkan
pembangunan penambahan bastion dan sultan keenam merampungkan seluruh
benteng. Benteng yang dibuat dari batu-batu gunung dengan perekat pasir,
kapur dan putih telur itu akhirnya selesai dalam jangka waktu 50 tahun
dengan keliling benteng mencapai 2.740 m dengan ketebalan 1-2 meter dan
tinggi 2-8 meter, dilengkapi dengan 12 pintu masuk untuk penduduk, 16
bastion yang dijaga prajurit dan dilengkapi 52 meriam. Selain benteng,
sultan juga menanam tumbuhan sudu-sudu yang berduri seperti kaktus di
sepanjang benteng. Jika kulit manusia tertusuk tumbuhan ini maka akan
mengakibatkan gatal dan rasa sakit yang lumayan. Tumbuhan sudu-sudu
adalah tumbuhan asli Buton, tambahnya. Di sekitar benteng, bisa terlihat
sebuah tiang bendera yang sudah tampak sangat tua. Ali mengungkakan
tiang itu dibuat dari kayu jati asli dan dibangun pada 1712.
Kayu
jati masih awet hingga 300 tahun karena dia dibangun di atas batu dan
tidak menempel ke tanah sehingga kayu selalu kering. Tiang ini digunakan
untuk mengibarkan bendera Kerajaan Buton yang disebut longa-longa
artinya berwarna warni, selain itu juga sempat mengibarkan bendera
Kerajaan Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih hingga sekarang,
katanya. Ali mengungkapkan tiang bendera ini pernah tersambar petir
sehingga patah menjadi dua namun disambung dengan menggunakan besi baja
sehingga bisa berdiri lagi. Selain situs kerajaan, pantai Buton juga
indah. Yang paling indah adalah pantai Nirwana, yang terletak sekitar 12
Km dari Bau Bau. Pantai Nirwana mempunyai pasir putih dan laut yang
jernih sehingga bila terkena sinar matahari memantulkan warna hijau
kebiru-biruan yang cantik. Wisatawan biasanya bermain datang untuk
menikmati matahari terbit dan terbenam serta berenang dan melakukan
olahraga air.
RIESKA WULANDARI
Kota Bau-bau Harus Lebih Rapi
Kota Bau-bau Harus Lebih RapiMASYARAKAT Bau-bau di Sulawesi Tenggara (Sultra) pasti mendambakan kotanya selalu nyaman, memiliki jaringan jalan yang lebar, ada trotoar untuk pejalan kaki, pepohonan yang rindang, serta taman-taman yang indah dengan aneka burung sebagai penghuninya. Kecuali itu permukiman, pertokoan, dan pasar-pasar yang ada juga tidak kumuh. Kini muncul harapan baru, dambaan itu bisa menjadi kenyataan setelah Bau-bau memiliki pemerintahan sendiri sebagai kota otonom.Selama ini kondisi tersebut agak sulit diwujudkan, karena Ko-ta Bau-bau belum memiliki otoritas untuk mengatur rumah tangga sendiri. Dengan status kota administratif, Bau-bau praktis masih di bawah kontrol Bupati Buton yang harus berlaku adil terhadap seluruh wilayah kabupaten itu. Artinya, semua sumber daya dan dana yang ada seoptimal mungkin dimanfaatkan bagi kepentingan seluruh rakyat Buton, termasuk warga Kota Bau-bau. Pemanfaatan itu juga dilakukan berdasarkan prioritas-prioritas yang sifatnya mendesak.
Setelah menjadi daerah otonom, kesan "kurang terurus" dengan dalih seperti di atas, tidak relevan lagi. Kota Bau-bau resmi menjadi daerah otonom sejak 17 Oktober 2001. Ia menjadi kota otonom kedua di Sulawesi Tenggara setelah Kota Kendari. Dengan demikian, Provinsi Sultra saat ini terdiri dari empat kabupaten dan dua kota.
Setelah menjadi daerah otonom, Kota Bau-bau akan segera melepaskan diri dari induknya, Kabupaten Buton. Bahkan, sebagai ibu kota kabupaten pun, dia tidak berhak lagi. Pusat pemerintahan kabupaten akan segera dipindahkan ke tempat lain.
Dengan status tersebut Bau-bau kini dituntut segera bangkit berbenah diri. Predikat kota rapi dan bersih harus direbut mengingat fungsinya sebagai kota pariwisata. Kota ini merupakan pelabuhan transit bagi semua kapal Pelni yang beroperasi di wilayah timur. Dalam seminggu Pelabuhan Bau-bau dikunjungi 2-3 kali kapal penumpang milik BUMN itu. Meski hanya transit beberapa jam, sebagian penumpang kapal-kapal tersebut turun menghirup udara atau makan minum di restoran Bau-bau sebelum melanjutkan perjalanan.
Letak Bau-bau memang strategis. Ia juga merupakan pelabuhan antarpulau yang menghubungkan kota-kota pelabuhan lainnya di wilayah barat dan timur. Dengan Kendari sebagai ibu kota provinsi, Bau-bau dihu-bungkan kapal-kapal penumpang lokal dengan waktu tempuh hanya hitungan jam. Transportasi darat Kendari-Bau-bau juga lancar setiap hari melalui lintas penyeberangan Tor
|